Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 

  1. Sepakat mereka yang menngikat dirinya;
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
  3. Mengenai suatu hal tertentu; 
  4. Suatu sebab yang halal.
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUH Perdata"). 


Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri atau dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik. Si penjual menginginkan sejumlah uang, sedang si pembeli menginginkan sesuatu barang dari si penjual. 

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian: 
  1. Orang-orang yang belum dewasa;
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 
  3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. 

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.

Akhirnya oleh pasal 1320 KUH perdata tersebut diatas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian.

Dalam perjanjian terdapat dua syarat, yakni syarat obyektif dan syarat subyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut didepan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatankan bahwa perjanjian yang demikian itu  null and void.

Dalam hal suatu suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibetalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan tersebut adalah pihak yang cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahwa Inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda).

            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batas Laut Indonesia di Selat Malaka. Studi Kasus Insiden di Selat Malaka tanggal 7 April 2011

Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)

Sekilas Tentang Perjanjian Kawin