Batas Laut Indonesia di Selat Malaka. Studi Kasus Insiden di Selat Malaka tanggal 7 April 2011
Konsep
Landas Kontingen muncul pada tahun 1958 dalam Konvensi Jenewa yang dimana dalam
konvensi tersebut diterangkan bahwa Landas
Kontingen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada diluar laut
territorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas
terluar tepian kontingen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut
diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial
apabila sisi terluar tepian kontingen tidak mencapai jarak tersebut.(Pasal 76
UNCLOS). Untuk landas kontingen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah
dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4/Prp/ Tahun 1960 yaitu wilayah diluar 12 mil laut dengan
kedalaman sampai 200 meter atau lebih dimana masih mungkin diselenggarakan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Sedangkan kekayaan alam yang dapat
dilakukan eksploitasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1973 adalah mineral dan sumber tak
bernyawa lainya, didasar laut dan/atau didalam lapisan tanah di bawahnya
bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis silindir, yaitu
organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik di atas maupun
dibawah dasar laut atau tidak dapat bergerak, kecuali dengan cara selalu
menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya.
Di Selat Malaka, Indonesia dan
Malaysia sudah menetapkan garis batas landas kontingen pada tahun 1969. Garis landas kontingen tersebut terbentang
lurus di Selat Malaka. Artinya, sudah ada kejelasan pembagian dasar laut dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (minyak, gas, dll) di Selat Malaka
antara Indonesia dan Malaysia, tetapi belum ada pembagian yang jelas untuk
tubuh air dan kekayaan alam terkait terutama ikan, sebagaimana kita ketahui,
landas kontinen hanya membagi dasar laut saja.
Jika melihat dari prinsip
penguasaan dan berbagai laut antar negara, Negara Pantai (coastal state)
seperti Indonesia berhak menguasai kawasan laut (zona maritime) yang diatur
dalam Konvensi PBB tentang hukum laut atau di Indonesia dikenal dengan UNCLOS
yang disahkan pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, sebuah negara pantai berhak atas
laut territorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi
eksklusif atau ZEE (200 mil laut).
1. Laut Teritorial
Sebelum adanya UNCLOS,
negara-negara di dunia menentukan batas laut teritorialnya secara sepihak.
Aturan hukum internasional yang mengatur tentang laut territorial, dinyatakan
dalam konvensi Den Haag 1930 bahwa “ Wilayah negara meliputi suatu jalur laut
yang dalam konvensi ini dinamakan laut territorial dan kedaulatan negara pantai
meliputi ruang udara diatas territorial, demikian pula dasar laut dari
territorial dan tanah dibawahnya.” Konvensi ini belum menetapkan lebar laut
territorial yang menjadi hak negara pantai. Sedangkan konvensi Jenewa 1958
mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan merumuskan bahwa laut territorial
merupakan suatu jalur yang terletak sepanjang pantai suatu negara yang berada
di bawah kedaulatan negara. Konvensi ini belum juga bersepakat mengenai lebar
laut territorial, tapi negara-negara peserta mengemukakan berbagai klaim mengenai
lebar laut territorial, yakni mulai dari 3 mil – 6 mil, bahkan sampai muncul pendapat
bahwa negara-negara dapat menentukan batas laut teritorialnya sendiri. Aturan
hukum nasional yang mengatur mengenai laut territorial adalah UU No. 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang menetapkan bahwa lebar laut territorial
Indonesia adalah 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.
2. Zona Tambahan
Starke
berpendapat bahwa zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan
batas jalur maritime, tidak termasuk kedaulatan negara pantai dapat
melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk tujuan kesehatan atau
peraturan-peraturan lainnya.
Aturan hukum internasional
yang mengatur tentang zona tambahan adalah UNCLOS 1982 yaitu “Dalam suatu zona
yang berbatasan dengan laut territorialnya, yang dinamakan zona tambahan,
negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah
pelanggaran peraturan perundang-undangannya, bea cukai, fiscal, imigrasi dan
saniter diwilayah teritorialnya, serta menghukum pelanggar peraturan
perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan di dalam wilayah laut
teritorialnya.” Sedangkan lebar zona tambahan ditetapkan maksimal 24 mil laut
dari garis pangkal laut territorial. Karena lebar zona tambahan diukur 24 mil
laut dari garis pangkal laut territorial, maka harus dikurangi 12 mil laut yang
merupakan bagian laut territorial itu.
Mengenai aturan hukum
nasional, sampai sekarang Indonesia Indonesia belum membuat Undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang zona tambahan. Untuk itu, peraturan perundangan yang
dapat dijadikan sebagai dalam mengklaimatau menetapkan zona tambahan ada;ah UU
No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982.
3. Zona Ekonomi Eksklusif
Pasal
57 UNCLOS menyatakan bahwa ZEE adalah zona maritime yang diukur dari pangkal
hingga jarak 200 mil laut. Didalam ZEE, sebuah negara pantai memiliki hak
eksklusif untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, kebebasan navigasi,
hak penerbangan udara, dan melakukan penanaman kabel serta jalur pipa.
Sehubungan dengan kabel dan jalur pipa, ini merupakan hak di laut bebas yang
juga tetap memiliki oleh negara asing di dalam kawasan ZEE dan landas kontinen.
Lahirnya Undang-Undang No. 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia merupakan realisasi juridis
perluasan wilayah laut utamanya yang menyangkut keadaan ekonomi dalam
pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya Negara Indonesia adalah negara kepulauan
dengan bentangan wilayahnya yang 2/3 merupakan wilayah lautan, merupakan
kondisi yang sangat mendukung dan menunjang seluruh potensi bahari bangsa
Indonesia dalam mengupayakannya. Dengan direalisasikanya wilayah ZEE Indonesia
sejauh 200 mil laut, membawa konsekuensi perubahan peta wilayah Indonesia dan
aspek lainnya, yaitu:
1.
Menambah luas wilayah Indonesia kurang
lebih 1,5 juta mil persegi
2.
Menambah intensifnya pengawasan wilayah
laut secara preventif maupun represif terhadap pelanggaran wilayah dalam arti
terjadinya pencurian hasil sumber daya hayati, khususnya ikan maupun
penyalahgunaan atas kelonggaran yang diberikan.
3.
Berupaya untuk mendapatkan perluasan
kemampuan dalam menunjang potensi alam yang harus diusahakan dan diimbangi
keadaannya.
4.
Berupaya melakukan pencegahan terhadap
kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran laut bahkan sampai
mempengaruhi ekosistem laut
Pada prinsipnya batas wilayah
kelautan suatu negara yang menyangkut masalah ZEE tidak mempunyai pengaruh di
luar kegiatan pendayagunaan sumber daya alam hayati maupun non hayati.
Misalnya, untuk kegiatan pelayaran dan penerbangan masih dapat dilakukan secara
bebas (freedom of navigation and over
flight) selain itu juga adanya kebebasan dalam hal pemasangan kabel-kabel
dan pipa-pipa di bawah laut (freedom of
laying submarine cables and pipelines).
Zoan ekonomi eksklusif terbatas
dibidang ekonomi saja tanpa mempengaruhi kegiatan secara langsung dibidang yang
lainnya. Mengingat bahwa di wilayah tersebut Indonesia tidak mempunyai
kedaulatan secara penuh, hal inoi di tegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 5
Tahun 1983, bahwa ZEE Indonesia adalah “jalur
dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia , sebagaimana ditetapkan
berdasarkan UU yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas sejauh 200 (dua
ratus) mil laut yang diatur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.” Bagi
negara pantai seperti Indonesia, dengan adanya konvensi UNCLOS 1982 cenderung
memperluas wilayah lautannya baik wilayah laut territorial dalam batas yang
telah ditentukan (maksimal 12 mil laut) atau hanya wilayah ekonomi eksklusif
dengan segala konsekuensi yang melekat. Dengan memperhatikan keadaan tersebut
di atas pada Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai dan melaksanakan:
a.
Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi
dan eksploitasi pengelolaan dan berupaya untuk melindungi, melestarikan sumber
daya alam yaitu menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut. Hak berdaulat
dalam hal ini tidak sama dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan
atas laut dan wilayah maupun perairan pedalaman.
b.
Hak untuk melaksanakan penegakan hukum
dilakukan oleh aparat yang menangani secara langsung, dalam upaya untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian.
c.
Hak untuk melaksanakan hot pursuit
terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
ZEE Indonesia.
d.
Hak eksklusif untuk membangun,
mengizinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunannya.
e.
Hak untuk menentukan kegiatan ilmiah
berupa penelitian-penelitian dengan diterima/tidaknya permohonan yang diajukan
pada pemerintah, kemudian atas permohonannya, pemerintah dapat menyatakan:
1.
Tidak menolak permohonan yang diajukan
2.
Bahwa keterangan-keterangan yang
diberikan oleh pemohon tidak sesuai dengan kenyataan atau kurang lengkap
3.
Bahwa permohonan belum memenuhi
kewajiban atas proyek penelitiannya, kecuali apabila dianyatakan sebaliknya.
Negara pantai di wilayah
dimaksud tidak dapat semena-mena menerapkan hukum nasionalnya, kecuali tidak
bertentangan dengan hukum internasional baik yang berasal dari
perjanjian/traktat, konvensi dan sebagainya. Bagi negara pantai seperti halnya
Indonesia, zona ekonomi eksklusif merupakan wilayah yang mempunyai kedaulatan
penuh dalam kaitannya masalah ekonomi dan sangat memperhatikan segala
kewajibannya yang berupa kewajiban hukum internasional.
2.2 Perbatasan Laut dan ZEE
Indonesia-Malaysia di Selat Malaka
Batas maritim antara Indonesia
dengan Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh kedua negara dengan
melakukan perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27
Oktober 1969. Perjanjian ini masih berdasarkan ketentuan-ketentuan hasil
konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958, dimana hasil konfrensi ini masih belum
memuat ketentuan tentang batas zona ekonomi. Dalam penjelasan umum Undang-Undang
No. 2 Tahun 1971 Tentang Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia
Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka,
dijelaskan isi pokok perjanjian perbatasan tersebut bahwa “garis batas laut wilayah Indonesia dan laut wilayah Malaysia di Selat
Malaka yang sempit, yaitu di selat yang lebar antara garis dasar kedua belah
pihak kurang dari 24 mil laut, adalah garis tengah, yaitu garis yang
menghubungkan titik-titik yang sama jaraknya dari garis-garis dasar kedua belah
pihak.” Isi perjanjian ini adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2)
dari Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960, yang menyatakan bahwa “jika ada Selat yang lebarnya tidak melebihi
24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka
garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.” Dengan
demikian maka dapatlah dikatakan bahwa Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah tersebut telah memperkuat Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960,
sekurang-kurangnya untuk bagian Selat Malaka yang diatur di dalam perjanjian
tersebut. Namun, garis batas laut wilayah tersebut tidak sesuai dengan garis
batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang telah berlaku
sejak bulan November 1969. Garis landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di Selat
Malaka justru lebih mengarah ke pantai Indonesia. Ini sangat merugikan
Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, disepakati titik koordinat Batas-batas
landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka sebagai berikut:
A. In the Straits of Malacca:
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
Point
|
Longitude
E
|
Latitude
N
|
1.
|
98°
17'.5
|
05°
27'.0
|
2.
|
98°
41'.5
|
04°
55'.7
|
3.
|
99°
43'.6
|
03°
59'.6
|
4.
|
99°
55'.0
|
03°
47'.4
|
5.
|
101°
12'.1
|
02°
41'.5
|
6.
|
101°
46'.5
|
02°
15'.4
|
7.
|
102°
13'.4
|
01°
55'.2
|
8.
|
102°
35'.0
|
01°
41'.2
|
9.
|
103°
03'.9
|
01°
19'.5
|
10.
|
103°
22'.8
|
01°
15'.0
|
Sumber: Continental Shelf Boundary
Indonesia-Malaysia, Bureau of Intelligence and Research, Department of State,
USA; No. 1. January 21, 1971.
Ketika
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 muncul, maka
status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) secara formal
telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk mengenai hak-hak dan
kewajiban yang melekat pada wilayah-wilayah negara kepulauan. Untuk itu sebagai
negara kepulauan, Indonesia dapat menerapkan ketentuan yang ada dalam konvensi
khususnya yang berkaitan dengan aspek penetapan batas laut Indonesia dengan
negara-negara tetangga. Hal yang paling fundamental yang diatur dalam konvensi
ini adalah ditetapkannya batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut,
selain dietapkannya lebar laut wilayah (territorial) 12 mil laut, zona tambahan
24 mil laut, dan landas kontinen 350 mil laut. Dengan ditetapkannya UNCLOS 1982
ini, pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 dengan
Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia pun berupaya untuk menetapkan batas
maritim kembali dengan Malaysia, terutama batas laut ZEE di Perairan Selat
Malaka. Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka
sampai saat ini belum pernah dirundingkan dan diperjanjikan sehingga Indonesia
mengganggap masih bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera diselesaikan. Selama
Ini, Indonesia dan Malaysia sama-sama memiliki klaim sendiri (unilateral). Indonesia mengklaim garis
tengah (median line) antara Indonesia
(Sumatra) dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Sedangkan Malaysia
ini menggunakan garis batas landas kontinen 1969 sekaligus sebagai garis batas
ZEE nya. Berikut akan kami jelaskan klaim-klaim kedua negara tersebut melalui
gambar.
Gambar 1. Garis landas kontinen Indonesia dengan Malaysia
yang disetujui tahun 1969
Dalam gambar 1 tersebut terlihat jelas bahwa garis landas kontinen justru
lebih mendekati perairan Indonesia (Sumatra). Ini sangat merugikan Indonesia,
karena ini membuat wilayah laut territorial Indonesia semakin mengecil. Ketika
muncul konsep Zona Ekonomi Eksklusi dalam UNCLOS 1982, Indonesia yang merupakan
negara kepulauan pun lalu meratifikasinya. Untuk di Selat Malaka, Indonesia
melakukan klaim sepihak untuk Zona Ekonomi Eksklusifnya. Berikut gambar klaim
tersebut:
Gambar
2.
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (pembagian
air) versi Indonesia
Gambar
diatas menunjukan klaim sepihak yang dilakukan Indonesia terhadap ZEE nya di
Selat Malaka. Klaim tersebut menggunakan garis tengah (median line) yang dimana itu diatur dalam Undang-Undang No. 4 Prp.
Tahun 1960. Secara yuridis undang-undang tersebut berlaku bagi Indonesia, namun
itu tidak berlaku bagi Malaysia. Malaysia pun juga melakukan klaim sepihak yang
dimana menurut Malaysia pengaturan batas Zona Ekonomi Eksklusif menggunakan
garis batas landas kontinen yang di setujui tahun 1969. Berikut gambar klaim
dari Malaysia:
Gambar
3.
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (pembagian
air) versi Malaysia
Klaim sepihak yang dilakukan
kedua belah pihak tersebut justru menimbulkan tumpang tindih Zona Ekonomi
Eksklusif (overlapping claim area).
Berikut gambar overlapping claim area
tersebut:
Gambar
4.
Klaim Zona Ekonomi Eksklusif yang tumpang
tindih (overlapping claim) antara Indonesia dengan Malaysia
Perlu
ditegaskan lagi bahwa yang tumpang tindih adalah airnya saja, tidak termasuk
dasar lautnya. Terkait sumberdaya laut, maka yang menjadi persoalan adalah
ikannya, bukan minyak dan gas bumi. Inilah yang menjadi dasar kenapa terjadi
Insiden di Selat Malaka tanggal 7 April 2011 yang dimana pada saat itu Kapal
Patroli HIU-001 milik Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
menangkap dua kapal illegal fishing asal Malaysia yang sedang mencari ikan di
Selat Malaka. Berikut gambar dan koordinat titik dari ketiga kapal tersebut:
Gambar 5. Koordinat kapal
patroli HIU 001 milik KKP dan dua kapal penangkap ikan asal Malaysia. Titik
merah menunjukan Kapal Patroli HIU 001 KKP (Indonesia). Titik-titik biru
menunjukan kapal penangkap ikan asal Malaysia.Titik kooordinat kapal-kapal
merupakan representasi subyektif dari Kepala Stasiun Pengawasan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan Belawan, Mukthar, A.Pi, M.Si (http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/04/3-helikopter-tempur-malaysia-menghadang.html)
Dalam gambar diatas terlihat
jelas bahwa insiden tersebut terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara
yang masih dalam sengketa. Wajar jika Indonesia dan Malaysia merasa insiden
tersebut tejadi di wilayah laut territorial mereka masing-masing. Sampai
sekarang memang belum ada kesepakatan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan
Malaysia di Selat Malaka, dengan demikian tidak tertutup kemungkinan insiden
diperbatasan seperti Kapal Patroli HIU 001 KKP RI yang menangkap kapal ikan
asal Malaysia itu akan terjadi kembali. Untuk itu perlu dilakukan
perundingan-perundingan diantara kedua negara tersebut yang lebih intensif agar
permasalah perbatasan ini bias diselesaikan dengan cepat dan adil, agar
hubungan diplomatic kedua negara tetap berjalan harmonis dan damai.
3.1
Kesimpulan
Terkait terjadinya insiden di Selat Malaka pada
tanggal 7 April 2011 yang dimana pada saat itu Kapal Patroli HIU-001 milik
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menangkap dua kapal illegal fishing asal Malaysia yang
sedang mencari ikan di Selat Malaka dapat ditarik kesimpulan ialah bahwa selama
ini, Indonesia dan Malaysia sama-sama memiliki klaim sendiri (unilateral). Indonesia mengklaim garis
tengah (median line) antara Indonesia
(Sumatra) dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Sedangkan Malaysia
menggunakan garis batas landas kontinen 1969 sekaligus sebagai garis batas ZEE
nya.
3.2
Saran
Terkait terjadinya
insiden di Selat Malaka pada tanggal 7 April 2011 yang dimana pada saat itu
Kapal Patroli HIU-001 milik Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia menangkap dua kapal illegal
fishing asal Malaysia yang sedang mencari ikan di Selat Malaka, maka saran
dari kami ialah terkait insiden tersebut untuk itu perlu dilakukan
perundingan-perundingan diantara kedua negara tersebut yang lebih intensif. agar
permasalahan perbatasan ini bisa diselesaikan dengan cepat dan adil, agar
hubungan diplomasi kedua negara tetap berjalan harmonis dan damai.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSelamat siang Pak. Artikelnya sangat bermanfaat.
BalasHapusDimana saya bisa mendapatkan referensi akurat mengenai perbatasan ZEE seperti yang Bapak maksud di atas? Baik dari klaim Indonesia maupun klaim Malaysia.
Terima kasih.