Sekilas Tentang Perjanjian Kawin

        Perkawinan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan manusia untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin berlainan, seorang perempuan dan seorang lelaki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam perkawinan sendiri kita juga kita mengenal adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini menurut undang-undang harus diadakan sebelum pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
          Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja (misalnya satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian "percampuran laba rugi" (gemeenschap van winst en verlies) dan perjanjian "percampuran penghasilan" (gemeenschap van vruchten en inkomsten). 
         Seorang yang belum dewasa disini, diperbolehkan bertindak sendiri, tetapi ia harus "dibantu" oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberikan izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkkin perkawinannya sendiri yang baru kemudian dilangsungkan adalah sah.
       Perjanjian mulai berlaku antara suami dan istri, pada saat pernikahan ditutup didepan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dimana pernikahan telah dilangsungkan. Apabila pendaftaran perjanjian di kepaniteraan Pengadilan Negeri belum dilaksanaan, orang-orang pihak ketiga boleh mengganggap suami istri itu kawin dengan pencampuran kekayaan.
          Selain larangan umum yang berlaku bagi tiap perjanjian untuk memasukan pasal-pasal yang melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, harus diketahui pula bahwa di dalam B.W. terdapat beberapa pasal yang memuat peraturan tentang apa yang tidak boleh dimasukan dalam perjanjian perkawinan. Pertama-tama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan (maritale macht) atau kekuasaannya sebagai ayah atau akan menghilangkan hak-hak seseorang suami atau istri yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untuk membuat suatu perjanjian bahwa si suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar daripada bagiannya dalam passiva. Maksudnya larangan ini agar jangan sampai suami istri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak ketiga. Adajuga larangan untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami istri akan dikuasai oleh hukum dari sesuatu negeri asing. Yang dilarang disini bukannya mencantumkan isi hukum asing itu dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batas Laut Indonesia di Selat Malaka. Studi Kasus Insiden di Selat Malaka tanggal 7 April 2011

Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)